Narai Habar, Barito Kuala – Kasus mafia tanah di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, kembali mencuat setelah enam tahun mandek tanpa kejelasan hukum. Sofyan Hutapea selaku korban penyerobotan tanah melanjutkan laporannya ke polisi, didampingi oleh kuasa hukumnya dari Kantor Hukum Nenggala Alugoro, Enis Sukmawati. Ironisnya, salah satu tersangka utama, Abdul Kadir, yang juga Kepala Desa, masih bebas menjabat hingga kini.
Kasus bermula dari laporan Sofyan Hutapea terkait tindak pidana memasukkan keterangan palsu dalam Surat Keterangan Fisik Bidang Tanah dan akta otentik, serta menjual tanah milik orang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 263, 266 jo 385 KUHPidana. Dari penyidikan, dua tersangka ditetapkan yakni Abdul Kadir dan Jusriyan, namun hanya berkas Jusriyan yang dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum pada Desember 2019.
“Sudah enam tahun berlalu, tapi berkas Abdul Kadir tak jelas juntrungannya. Kalau dihentikan, seharusnya klien kami menerima SP3. Kalau dilanjutkan, kenapa tidak ada progres? Maka kami ajukan permohonan SP2HP untuk meminta kejelasan,” tegas Enis Sukmawati.
Lebih memprihatinkan, Abdul Kadir yang berstatus tersangka tetap menjabat sebagai Kepala Desa tanpa adanya pemberhentian sementara sebagaimana diatur dalam PP 72/2005 Pasal 18 ayat (1). Kondisi ini menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum dan perlindungan hak-hak masyarakat.
“Saat pemerintahan desa dikuasai oleh tersangka, bagaimana masyarakat bisa mendapatkan haknya? Ini potret mafia tanah yang diselimuti kekuasaan,” tambah Enis.
Sofyan juga mengalami kerugian besar akibat munculnya sertifikat ganda di atas tanah miliknya yang bersertifikat sejak 2005. Anehnya, sertifikat baru justru terbit pada 2017, meski Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tahun 2018 telah menetapkan bahwa sertifikat yang lebih lama memiliki kekuatan hukum yang sah.
Sementara Kasi Humas Polres Batola IPTU Marum mengatakan melakukan pengecekan terlebih dahulu, katanya singkat, Selasa (15/7/2025)
Hingga kini, keluarga Sofyan menanti kejelasan hukum yang belum juga diberikan oleh pihak kepolisian. “Kami hanya ingin keadilan, kenapa hukum seperti berpihak kepada pelaku? Ini yang membuat masyarakat kehilangan kepercayaan pada aparat penegak hukum,” ungkap Sofyan kecewa.
Kasus ini menjadi peringatan bahwa praktik mafia tanah bisa berjalan mulus saat oknum pemerintahan desa ikut terlibat. Publik berharap aparat penegak hukum segera menuntaskan perkara ini dan menegakkan aturan tanpa pandang bulu. (*)